Jumat, 11 Februari 2011

"Perawat di Persimpangan Jalan"

PASTI ADA NYANG SALAH
oleh : Muhammad Arwani
*Dosen POLTEKES Semarang
*Wakil Ketua I PPNI Jawa Tengah

Assalamu’alaikum
Sugeng enjang
Good morning

Saya masih ingat betul apa nyang diucapkan orang nomor satu di jajaran kesehatan Jawa Tengah saat pembukaan Musyawarah Propinsi PPNI Jawa Tengah pada tanggal 2 Desember 2010 di Tegal beberapa waktu nyang lalu. Beliau menyatakan bahwa perkembangan perawat saat ini boleh dikatakan sangat dahsyat dalam arti keilmuan dan tingkat pendidikannya. Namun demikian, Dr. Mardiatmo, Sp.Rad – Kadinkes Propinsi Jawa Tengah -  sangat menyayangkan bahwa perkembangan nyang baik tersebut ternyata tidak diimbangi dengan sikap profesional perawat.  Terdapat kesan nyang jelas bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan nyang dimilki perawat, justru semakin menjauhkan hubungan antara perawat dan klien baik secara fisik maupun spikososial.
Mendengar secara live pernyataan tersebut tentu saja membuat bulu kudukku berdiri. Bukan karena takut pada sesosok hantu nyang semisal “suster ngepot” atau “suster ngesot”, namun lebih pada rasa tanggungjawab moral dan professional saya sebagai seorang perawat. Apakah saya merasa tersinggung? Tidak! Apakah saya merasa malu dengan sentilan itu? Mungkin saja ya! Rasa malu saya inilah nyang justru kemudian menyadarkan saya harus mampu berpikir secara logic dan rasional. Sekaliber Kepala Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Tengah tentu tidak gegabah untuk menyatakan hal itu terlebih lagi jika hal tersebut dilakukan di hadapan ribuan pasang mata nyang mengaku dirinya sebagai komunitas perawat Indonesia. Makanya saya justru semakin sadar ketika dengan semangat empat-lima beliau menyatakan pasti ini ada nyang salah!
Terlepas validit tidanknya pernyataan tersebut, bagaimanapun juga sudah sewajarnya jika kita mencermatinya secara arif dan wajar. Pernyataan “pasti ini ada nyang salah”  mengandung makna sangat dalam.  Satu sisi merupakan sebuah proses penyadaran akan sesuatu nyang selama ini telah kita lakukan, namun di sisi lain memberikan semacam energy positif untuk melakukan segala daya upaya agar apa nyang salah tersebut dapat segera diurai dan dipecahkan menjadi sesuatu nyang lebih baik. Dua hal ini ibarat sekeping mata uang nyang tidak mungkin dipisahkan antar sisinya. Keduanya menyatu dan memberikan karakter nyang kuat tentang nilai uang itu sendiri, sebagaimana halnya antara otot dan tulang, rambut dan kulit kepala, mata dan cahaya, ataupun ikan dan air lautan.
Tidak ada kata terlambat untuk melakukan sebuah perbaikan terlebih jika nyang diperbaiki menyangkut hajat hidup orang banyak dan demi menjaga sebuah martabat bernama profesi keperawatan. Pengalaman telah banyak membuktikan bahwa dengan menyadari kesalahan nyang terjadi menjadikan seorang Albert Einstein tokoh nyang sangat dikagumi senatero jagad raya ini karena kejeniusannya,  Demikian juga hanya karena usahanya nyang tidak mengenal lelah, menjadikan Thomas Alpha Edison dikenang masyarakat sepanjang masa. Hal ini tentu hasilnya berbanding terbalik jika seseorang tidak pernah melakukan proses penyadaran dan upaya perbaikan ketika dirinya melakukan sesuatu dalam koridor nyang tidak benar, bahkan sering muncul dampak nyang tidak diinginkan. Alkisah seorang tua renta nyang sedang sakaratul maut  (dying process) ditanya oleh anggota keluarganya perihal permintaan terakhir sebelum meninggal. Orangtua tersebut lantas meminta tiga hal yaitu agar dimohonkan ijin pada malaikat pencabut nyawa untuk menunda tugasnya, ingin makan makanan nyang enak-enak, dan ingin mati secara tenang dan wajar. Mendengar permintaan tersebut, diam-diam salah satu anggota keluarganya nyang tertua merasa jengkel lalu sambil berdiri seraya berkata:”saya bisa memenuhi semua permintaan Bapak, kecuali nyang nomor satu!”
Saya juga menjadi sangat haqqul yaqien pasti ada nyang salah ketika profesi perawat nyang sudah sampai tataran spesialistik, namun hingga  saat ini belum mampu menunjukkan kepada masyarakat bagaimana bentuk praktik nyang dapat dilakukan! Sangat ironi memang tetapi itulah kenyataannya...  apakah saya harus juga mengatakan pasti ini ada nyang salah ketika di sebuah surat kabar dilansir bahwa ada seorang perawat nyang dengan tega menutup mulut pasiennya dengan plester hanya gara-gara tidak tahan mendengar tangisannya!
Upaya elegan harus secepatnya kita ambil untuk mengeliminasi fenomeba pasti ini ada nyang salah, paling tidak melalui dua langkah. Langkah pertama nyang harus dilakukan adalah  merenovasi mindset para perawat tentang mitra kerja. Selama ini kita menjadi sangat yakin menyatakan dimanapun bahwa perawat adalah mitra dokter dan mitra profesi nyang lain. Tetapi bagaimana kenyataanya? Apakah kita sudah betul-betul menjadi mitra profesi lain? Dan apakah kita telah dengan benar mengetahui makna mitra itu sendiri? Jangan-jangan kita hanya sebatas latah atau lip service tanpa memahami arti dan filosofinya. Kata mitra paling tidak mengandung dimensi teman, sahabat, kawan kerja, atau pasangan kerja. Dimensi-dimensi arti mitra tersebut mengandung konsekuensi nyang tidak ringan. Tidak hanya sekedar meningkatkan profesionalisme melalui pendidikan spesialistik sebagaimana telah dilakukan oleh profesi lain nyang sudah settled, juga tidak pula sekedar mengadopsi pola pendidikan profesi lain untuk diimplementasikan dalam kegiatan profesi perawat.   Namun lebih dari itu kita harus sadar sesadarnya bahwa kemitraan berarti harus mampu menjalin komunikasi nyang cantik dengan profesi lain, disamping juga harus benar-benar menguasai ilmu nyang digelutinya sesuai dengan perkembangan IPTEK terkini. Sehingga ketika diajak berdiskusi tentang kasus tertentu nyang dialami klien oleh profesi lain, perawat harus mampu mengimbangi dan bahkan sangat menguasai masalah nyang terjadi tentu saja dari kacamata ilmu nyang dimiliki.  Inilah nyang menurut saya apa nyang disebut dengan mitra. Pertanyaan selanjutnya adalah kapan kemitraan perawat dengan profesi lain semisal dokter dimulai? Jawabnya adalah paling tidak dimulai sejak masih sama-sama menjadi praktikan di tatanan pelayanan kesehatan. Kalau toh kemudian sampai saat ini kemitraan belum juga terbangun secara indah jangan salahkan saya jika saya harus mengucapkan pasti ada nyang salah!
Langkah kedua adalah membangun gerakan cinta pada profesi perawat. Menurut saya ini sama halnya dengan peristiwa ketika seorang anak muda menginginkan seorang gadis untuk menjadi pendamping hidupnya. Secantik dan setampan apapun pasangan tersebut, saya rasa tidak pernah memberikan kemaknaan untuk membangun sebuah mahligai ketika unsur cinta tidak ada diantara mereka. Demikian halnya dengan profesi perawat, ketika seseorang tidak memiliki cinta nyang secintanya (cinta mati!) terhadap profesi nyang digeluti, maka jangan pernah berharap profesinya akan berkembang dengan baik. Saya namakan gerakan cinta karena datangnya harus dari pelakunya, bukan dari orang lain. Sejarah membuktikan bahwa cinta  memungkinkan seseorang melakukan apapun nyang mungkin sebelumnya tidak pernah atau tidak mungkin dilakukan.  Sahabat saya mbak Widasari. SKp (pemilik WOCARE), tanpa rasa takut memutuskan untuk berhenti dari pegawai negeri dari rumah sakit besar di Jakarta, gara-gara kecintaannya nyang militant terhadap praktik perawatan luka nyang selama ini mungkin tidak banyak disentuh oleh orang lain. Sementara lainnya berlomba-lomba mendaftarkan diri menjadi calon pegawai negeri sipil (CPNS). Dengan cinta nyang dimilki, memungkinkan dia menjadi figure atau model praktik perawat nyang selama ini sangat didambakan oleh komunitas perawat di Indonesia.
Akhirul kalam, mari kita sama-sama melakukan kegiatan nyata untuk membuktikan kepada kalayak bahwa perawat adalah profesi. Tidak hanya sekedar wacana namun perlu dibuktikan dengan tindakan-tindakan konkrit, jika tidak ingin di kemudian hari menyesal hanya karena orang lain menyatakan pasti ada nyang salah! Selamat berkarya! (Dosen Poltekkes Depkes Semarang & Wakil Ketua I PPNI Jawa Tengah).

1 komentar:

  1. ndak ada yang salah pak......, terkadang kita terjebak dengan kata kata profesi dalam konotasi yang sempit; belajar dari konsep green ada teori predisposing, reinforcing dan enabling, masing - masing perawat punya fungsi, tanggung jawab dan keingginan yang tidak sepenuhnya harus seragam.... god knows

    BalasHapus