Jumat, 11 Februari 2011

"Perawat di Persimpangan Jalan"

PASTI ADA NYANG SALAH
oleh : Muhammad Arwani
*Dosen POLTEKES Semarang
*Wakil Ketua I PPNI Jawa Tengah

Assalamu’alaikum
Sugeng enjang
Good morning

Saya masih ingat betul apa nyang diucapkan orang nomor satu di jajaran kesehatan Jawa Tengah saat pembukaan Musyawarah Propinsi PPNI Jawa Tengah pada tanggal 2 Desember 2010 di Tegal beberapa waktu nyang lalu. Beliau menyatakan bahwa perkembangan perawat saat ini boleh dikatakan sangat dahsyat dalam arti keilmuan dan tingkat pendidikannya. Namun demikian, Dr. Mardiatmo, Sp.Rad – Kadinkes Propinsi Jawa Tengah -  sangat menyayangkan bahwa perkembangan nyang baik tersebut ternyata tidak diimbangi dengan sikap profesional perawat.  Terdapat kesan nyang jelas bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan nyang dimilki perawat, justru semakin menjauhkan hubungan antara perawat dan klien baik secara fisik maupun spikososial.
Mendengar secara live pernyataan tersebut tentu saja membuat bulu kudukku berdiri. Bukan karena takut pada sesosok hantu nyang semisal “suster ngepot” atau “suster ngesot”, namun lebih pada rasa tanggungjawab moral dan professional saya sebagai seorang perawat. Apakah saya merasa tersinggung? Tidak! Apakah saya merasa malu dengan sentilan itu? Mungkin saja ya! Rasa malu saya inilah nyang justru kemudian menyadarkan saya harus mampu berpikir secara logic dan rasional. Sekaliber Kepala Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Tengah tentu tidak gegabah untuk menyatakan hal itu terlebih lagi jika hal tersebut dilakukan di hadapan ribuan pasang mata nyang mengaku dirinya sebagai komunitas perawat Indonesia. Makanya saya justru semakin sadar ketika dengan semangat empat-lima beliau menyatakan pasti ini ada nyang salah!
Terlepas validit tidanknya pernyataan tersebut, bagaimanapun juga sudah sewajarnya jika kita mencermatinya secara arif dan wajar. Pernyataan “pasti ini ada nyang salah”  mengandung makna sangat dalam.  Satu sisi merupakan sebuah proses penyadaran akan sesuatu nyang selama ini telah kita lakukan, namun di sisi lain memberikan semacam energy positif untuk melakukan segala daya upaya agar apa nyang salah tersebut dapat segera diurai dan dipecahkan menjadi sesuatu nyang lebih baik. Dua hal ini ibarat sekeping mata uang nyang tidak mungkin dipisahkan antar sisinya. Keduanya menyatu dan memberikan karakter nyang kuat tentang nilai uang itu sendiri, sebagaimana halnya antara otot dan tulang, rambut dan kulit kepala, mata dan cahaya, ataupun ikan dan air lautan.
Tidak ada kata terlambat untuk melakukan sebuah perbaikan terlebih jika nyang diperbaiki menyangkut hajat hidup orang banyak dan demi menjaga sebuah martabat bernama profesi keperawatan. Pengalaman telah banyak membuktikan bahwa dengan menyadari kesalahan nyang terjadi menjadikan seorang Albert Einstein tokoh nyang sangat dikagumi senatero jagad raya ini karena kejeniusannya,  Demikian juga hanya karena usahanya nyang tidak mengenal lelah, menjadikan Thomas Alpha Edison dikenang masyarakat sepanjang masa. Hal ini tentu hasilnya berbanding terbalik jika seseorang tidak pernah melakukan proses penyadaran dan upaya perbaikan ketika dirinya melakukan sesuatu dalam koridor nyang tidak benar, bahkan sering muncul dampak nyang tidak diinginkan. Alkisah seorang tua renta nyang sedang sakaratul maut  (dying process) ditanya oleh anggota keluarganya perihal permintaan terakhir sebelum meninggal. Orangtua tersebut lantas meminta tiga hal yaitu agar dimohonkan ijin pada malaikat pencabut nyawa untuk menunda tugasnya, ingin makan makanan nyang enak-enak, dan ingin mati secara tenang dan wajar. Mendengar permintaan tersebut, diam-diam salah satu anggota keluarganya nyang tertua merasa jengkel lalu sambil berdiri seraya berkata:”saya bisa memenuhi semua permintaan Bapak, kecuali nyang nomor satu!”
Saya juga menjadi sangat haqqul yaqien pasti ada nyang salah ketika profesi perawat nyang sudah sampai tataran spesialistik, namun hingga  saat ini belum mampu menunjukkan kepada masyarakat bagaimana bentuk praktik nyang dapat dilakukan! Sangat ironi memang tetapi itulah kenyataannya...  apakah saya harus juga mengatakan pasti ini ada nyang salah ketika di sebuah surat kabar dilansir bahwa ada seorang perawat nyang dengan tega menutup mulut pasiennya dengan plester hanya gara-gara tidak tahan mendengar tangisannya!
Upaya elegan harus secepatnya kita ambil untuk mengeliminasi fenomeba pasti ini ada nyang salah, paling tidak melalui dua langkah. Langkah pertama nyang harus dilakukan adalah  merenovasi mindset para perawat tentang mitra kerja. Selama ini kita menjadi sangat yakin menyatakan dimanapun bahwa perawat adalah mitra dokter dan mitra profesi nyang lain. Tetapi bagaimana kenyataanya? Apakah kita sudah betul-betul menjadi mitra profesi lain? Dan apakah kita telah dengan benar mengetahui makna mitra itu sendiri? Jangan-jangan kita hanya sebatas latah atau lip service tanpa memahami arti dan filosofinya. Kata mitra paling tidak mengandung dimensi teman, sahabat, kawan kerja, atau pasangan kerja. Dimensi-dimensi arti mitra tersebut mengandung konsekuensi nyang tidak ringan. Tidak hanya sekedar meningkatkan profesionalisme melalui pendidikan spesialistik sebagaimana telah dilakukan oleh profesi lain nyang sudah settled, juga tidak pula sekedar mengadopsi pola pendidikan profesi lain untuk diimplementasikan dalam kegiatan profesi perawat.   Namun lebih dari itu kita harus sadar sesadarnya bahwa kemitraan berarti harus mampu menjalin komunikasi nyang cantik dengan profesi lain, disamping juga harus benar-benar menguasai ilmu nyang digelutinya sesuai dengan perkembangan IPTEK terkini. Sehingga ketika diajak berdiskusi tentang kasus tertentu nyang dialami klien oleh profesi lain, perawat harus mampu mengimbangi dan bahkan sangat menguasai masalah nyang terjadi tentu saja dari kacamata ilmu nyang dimiliki.  Inilah nyang menurut saya apa nyang disebut dengan mitra. Pertanyaan selanjutnya adalah kapan kemitraan perawat dengan profesi lain semisal dokter dimulai? Jawabnya adalah paling tidak dimulai sejak masih sama-sama menjadi praktikan di tatanan pelayanan kesehatan. Kalau toh kemudian sampai saat ini kemitraan belum juga terbangun secara indah jangan salahkan saya jika saya harus mengucapkan pasti ada nyang salah!
Langkah kedua adalah membangun gerakan cinta pada profesi perawat. Menurut saya ini sama halnya dengan peristiwa ketika seorang anak muda menginginkan seorang gadis untuk menjadi pendamping hidupnya. Secantik dan setampan apapun pasangan tersebut, saya rasa tidak pernah memberikan kemaknaan untuk membangun sebuah mahligai ketika unsur cinta tidak ada diantara mereka. Demikian halnya dengan profesi perawat, ketika seseorang tidak memiliki cinta nyang secintanya (cinta mati!) terhadap profesi nyang digeluti, maka jangan pernah berharap profesinya akan berkembang dengan baik. Saya namakan gerakan cinta karena datangnya harus dari pelakunya, bukan dari orang lain. Sejarah membuktikan bahwa cinta  memungkinkan seseorang melakukan apapun nyang mungkin sebelumnya tidak pernah atau tidak mungkin dilakukan.  Sahabat saya mbak Widasari. SKp (pemilik WOCARE), tanpa rasa takut memutuskan untuk berhenti dari pegawai negeri dari rumah sakit besar di Jakarta, gara-gara kecintaannya nyang militant terhadap praktik perawatan luka nyang selama ini mungkin tidak banyak disentuh oleh orang lain. Sementara lainnya berlomba-lomba mendaftarkan diri menjadi calon pegawai negeri sipil (CPNS). Dengan cinta nyang dimilki, memungkinkan dia menjadi figure atau model praktik perawat nyang selama ini sangat didambakan oleh komunitas perawat di Indonesia.
Akhirul kalam, mari kita sama-sama melakukan kegiatan nyata untuk membuktikan kepada kalayak bahwa perawat adalah profesi. Tidak hanya sekedar wacana namun perlu dibuktikan dengan tindakan-tindakan konkrit, jika tidak ingin di kemudian hari menyesal hanya karena orang lain menyatakan pasti ada nyang salah! Selamat berkarya! (Dosen Poltekkes Depkes Semarang & Wakil Ketua I PPNI Jawa Tengah).

Senin, 07 Februari 2011

Konsep "Nursing Research and Development Center"

Pusat Pengembangan dan Penelitian Keperawatan Jawa Tengah
(Central Java Nursing Research and Development Center, CJ-NRDC)
Edy Wuryanto

Assalamualaikum wr.wb.
Kulo Nuwun.
Maju Bersama Sukses Bersama.  Yen Saguh, Lungguh, Sing Kukuh, Ora Mingkuh.

Ketika terlibat menyelesaikan penutupan SPK PPNI Semarang selama kurang lebih 4 tahun (2006-2010), saya merasakan semangat dan keinginan yang luar biasa dari para pengurus PPNI pada saat itu untuk memiliki Pusat Pengembangan Keperawatan. Bahkan, Pak Bakro,  Mantan Korwil Pati yang sekarang menjadi anggota Dewan Pertimbangan PPNI sering menyebut dengan gagah : “Nursing Center”. Mereka adalah para Guru, Ketua dan Pengurus PPNI, Tokoh Keperawatan, Pengelola SPK PPNI Semarang sekaligus orang tua kita, yaitu Pak Soenardi (alm), Pak Parwono (alm), Pak Soedarto (alm), Pak Soekusno (alm), Pak Purwanto, Pak Sunar, Pak Hudiono, Pak Sumarto, Pak Sutardjo, Pak St. Soemarjo, Pak Satimin, Pak Giharto, Pak Darno Maduni dan masih banyak lagi.
Semangat perjuangan dan keinginan mulia dari para Tokoh Keperawatan tersebut akan segera dilanjutkan oleh Bu Harsi, Mas Arwani, Mas Edy Soes, Mas Priyadi, Mas Priyadi Ungaran, Mas Untung, Mbak Yuli, Mas Untung Sujianto, Mas Ismu, Mbak Lusi, Mbak Budi, Mbak Eliana dan Mbak Wuri. “Nursing Center” dibangun diatas  tanah seluas 3000 meter persegi, dengan dana sekitar 2,7 milyar. Lokasi dipilih di Kota Ungaran, karena mudah dijangkau dari seluruh wilayah Jawa Tengah. Direncanakan peletakan batu pertama pada tanggal 12 Mei 2011, pada saat peringatan International Nurses Day. Insaallah, bangunan akan selesai dalam waktu 7-8 bulan, sehingga awal 2012 bangunan tersebut mulai dioperasionalkan.
Konsep akademik “Nursing Center” yang digagas oleh para tokoh pendahulu, akan dikembangkan sesuai dengan tuntutan jaman menjadi Pusat Pengembangan dan Penelitian Keperawatan Jawa Tengah (Central Java Nursing Research and Development Center, CJ-NRDC). Pertama, CJ-NRDC akan digunakan sebagai Pusat Uji Kompetensi Perawat di Jawa Tengah. Uji Kompetensi oleh Komite Perawat MTKP Jawa Tengah yang telah berjalan dengan baik membutuhkan sarana dan prasarana yang representatif  sehingga mampu menjadi role model pelaksanaan uji kompetensi perawat di Indonesia.
Kedua, sebagai Pusat Pendidikan dan Pelatihan Perawat. Seluruh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi keperawatan dibidang keperawatan dasar, keperawatan anak, keperawatan maternitas, keperawatan medikal bedah, keperawatan keluarga dan komunitas, keperawatan jiwa, keperawatan gawat darurat dan intensif, serta terobosan manajemen keperawatan akan ditransfer kepada seluruh perawat sehingga dapat diterapkan pada tatanan klinik.
Ketiga, sebagai Pusat Pelatihan Persiapan Perawat ke Luar Negeri. Salah satu permasalahan keperawatan di Indonesia adalah kelebihan jumlah perawat baru dibanding dengan kebutuhan. Sebaliknya, di negara maju banyak rumah sakit dan komunitas mengalami kekurangan jumlah perawat yang signifikan. CJ-NRDC akan mencoba bekerja sama dengan berbagai pihak untuk melakukan pelatihan, rekrutmen, konsultan dan penempatan perawat ke luar negeri sehingga membantu perawat berkarier di luar negeri.
Keempat, sebagai Pusat Kegiatan Penelitian Keperawatan. Paling tidak, CJ-NRDC sebagai pintu masuk (entry point) untuk memberikan kesadaran (awarness) bahwa keperawatan harus mulai masuk ke wilayah penelitian. CJ-NRDC menjadi tempat bertemunya para peneliti untuk merancang, melaksanakan, sharing hasil-hasil penelitian, dan dokumentasi hasil penelitian, serta kegiatan lainnya di bidang keperawatan dasar, anak, maternitas, medikal bedah, keluarga dan komunitas, jiwa, gawat darurat dan intensif, serta manajemen keperawatan.
Kelima, sebagai Pusat Kontrol Penanggulangan dan Rehabilitasi Korban Bencana Alam. Jawa Tengah dan Indonesia merupakan wilayah yang sering mengalami bencana alam sehingga PPNI selalu terlibat dalam penanganannya. Melalui CJ-NRDC, kegiatan kontrol bencana alam akan semakin efektif dalam menjalin kerja sama dengan berbagai pihak, khususnya dengan pemerintah dan pihak lain.
Keenam, sebagai Kantor Kedua PPNI dan Koperasi milik warga perawat di Jawa Tengah. Kantor bersama Organisasi Profesi yang ada di Jl. Karang Anyar Gunung Semarang terasa sempit bila seluruh pengurus berkumpul. Demikian, Koperasi yang sedang disiapkan olah Mas Ismu dan Pak Jayadi membutuhkan ruang yang cukup sehingga dapat melakukan usaha-usaha ekonomi untuk membantu mensejahterahkan anggota.
Oleh karena itu, Mas Arwani, Selaku Pimpro CJ-NRDC sedang memutar otak, untuk menyesuaikan konsep akademik yang demikian luas dengan keterbatasan dana yang ada. Paling tidak, bangunan tersebut harus memiliki kantor PPNI, Kantor Koperasi dan Ruang Bisnis, Kantor Pusat Kontrol Bencana Alam, Ruang Tempat Uji Kompetensi, Ruang Pusat Penelitian yang dilengkapi dengan dokumen hasil-hasil penelitian baik Text Books dan E-Journal untuk masing-masing Peminatan Keperawatan, hall akademik, laboratorium bahasa, dan penginapan.
Diharapkan CJ-NRDC merupakan program kerja PPNI Jawa Tengah yang akan melibatkan banyak pakar keperawatan sehingga sejak awal harus dikonsep dengan baik. Potensi SDM yang ada di kepengurusan formal PPNI tidak cukup sehingga Struktur Organisasi, Fungsi Lembaga CJ-NRDC serta Personalia yang mengelola terpisah dengan personalia PPNI, meskipun selalu berkoordinasi dan bertanggung jawab dengan PPNI.
Bila semua pihak serius, berkomitmen, mau berkorban dan terus berjuang untuk kemajuan keperawatan di Jawa Tengah, kami yakin keberadaan CJ-NRDC akan menjadi lembaga yang strategis untuk pengembangan dan penelitian keperawatan di Indonesia. Bahkan, akan menjadi role model bagi PPNI dan Keperawatan Propinsi lain. Marilah hidup ini kita isi dengan catatan sejarah yang semakin menjadikan diri kita bermanfaat untuk orang lain. Harapan para tokoh yang mendahului kita, seperti Pak Nardi,  Pak Parwono, Pak Darto, Pak Kusno dan yang lainnya akan tercapai karena tangan-tangan kita sebagai generasi pengurus. Cekap semanten, matur nuwun. Wassalam.wr.wb.

Mutu Perguruan Tinggi Keperawat


Oleh : Edy Wuryanto

Assalamualaikum wr.wb.
Kulo Nuwun.
Maju Bersama Sukses Bersama.  Yen Saguh, Lungguh, Sing Kukuh, Ora Mingkuh.

Dalam suatu pertemuan di HAPEQ (Health Professional Educations Quality), Proyek Pemerintah dalam peningkatan kualitas Perguruan Tinggi Bidang Kesehatan, termasuk Perguruan Tinggi (PT) Keperawatan diperoleh data menarik yang mencerminkan kualitas perguruan tinggi kita. Di Indonesia terdapat 1.012 Program Studi Keperawatan, terdiri  700 Diploma III, 306 Ners, 5 Magister dan Spesialis serta 1 Program Doktoral. Setiap tahun meluluskan sekitar 40.000 perawat baru. Di Jawa Tengah, menurut Mas Her Basuki, Ketua Asosiasi Institusi Pendidikan DIII Keperawatan terdapat sekitar 40 Institusi. Sedangkan data dari Bu Meidiana, Ketua APNI Rayon IV, ada 25 Pendidikan Ners. Total sekitar 65 PT Keperawatan.
Dari sisi kuantitas, jumlah tersebut sangat membanggakan karena menunjukkan minat masyarakat yang sangat tinggi terhadap pendidikan keperawatan. Hampir setiap Kabupaten/Kota memiliki PT Keperawatan. tetapi dari sisi kualitas, kondisi tersebut sangat mengkawatirkan karena apakah PT yang banyak tersebut mampu menjamin mutu dalam penyelenggaraannya? Di Jawa Tengah terdapat beberapa data yang mengkawatirkan yaitu,  pertama, Indikator Akreditasi BAN-PT. Sebagian besar belum terakreditasi BAN-PT, sebagian kecil yang telah terakreditasi. Dari yang terakreditasi sebagian besar terakreditasi C, sebagian kecil terakreditasi B dan belum ada yang terakreditasi A. Padahal Akreditasi merupakan wajah baik buruknya PT. Bahkan,  pada tahun 2012 pemerintah telah melarang PT yang tidak terakreditasi mengeluarkan ijazah.
Kedua, Indikator Kualitas Dosen. Dalam sebuah pertemuan di Asosiasi Perguruan Tinggi Kesehatan Swasta Indonesia pada akhir 2010, saya memperoleh data yang mengejutkan. Sebagian besar dosen berpendidikan sarjana (81%) dan diploma (5%), sebagian kecil magister (14%) dan belum ada yang doktor. Padahal UU Guru dan dosen telah menuntut maksimal 2012 seluruh dosen harus Magister. Disisi lain, karier dosen yang menunjukkan karya dalam tri darma PT adalah sebagian besar belum memiliki jabatan fungsional (88%), sebagian kecil asisten ahli (11%)  dan lektor (1%). Belum ada yang lektor kepala, apalagi guru besar. Hal ini menunjukkan bagaimana kualitas dosen dalam mengawal mutu PT.
Ketiga,  Indikator Sarana Pendukung PT. Tidak banyak PT yang menyediakan sarana gedung kampus, laboratorium keperawatan, sarana perpustakaan dan akses literatur, layanan teknologi informasi,  dan penunjang lain yang mendukung terciptanya atmosfer academic PT yang baik. Bahkan teman saya, Mas Hadi, Sekretaris Jenderal Asosiasi Institusi Pendidikan Ners Indonesia (AIPNI) pernah menyindir dalam suatu sambutan, ada PT yang mengusulkan proposal ijin mendirikan dengan sarana yang hebat, tetapi setelah ijin keluar beberapa tahun kemudian PT tersebut pindah ke Ruko (Rumah dan Toko).
Keempat, Indikator Tempat Praktek. Banyaknya jumlah PT dan mahasiswa keperawatan menyulitkan pengelola menempatkan mahasiswa di rumah sakit dan tempat praktek lainnya karena PT tersebut tidak memiliki rumah sakit. Bila mahasiswa bisa masuk rumah sakit, jumlah mahasiswa sering lebih banyak dibanding jumlah pasiennya. Karena itu dalam suatu audiensi, salah satu Direktur RS Besar di Kota Semarang mengatakan bahwa RS tersebut telah mengambil kebijakan untuk membatasi jumlah mahasiswa yang praktek di RS-nya karena alasan peningkatan kualitas pelayanan kepada pasien dan perbaikan kualitas bimbingan kepada mahasiswa. Bahkan, dengan kritik yang tajam RS tersebut menganggap PT yang mengirim mahasiswa tidak melakukan upaya bimbingan yang baik sehingga menyulitkan pihak RS dalam menjamin mereka melakukan proses belajar mengajar dan pelayanan yang baik.
Kondisi tersebut semakin menyulitkan PT Keperawatan dalam menyusun, melaksanakan dan mengembangkan kurikulum berbasis kompetensi yang pada akhirnya akan mempengaruhi kualitas lulusan dan kualitas praktek mereka dalam dunia kerja. Lebih lanjut, daya saing mereka rendah, tidak kompeten dan sulit memperoleh pekerjaan sehingga sebagian besar dari mereka menganggur dan tidak bisa melakukan praktek.
Oleh karena itu, ketika kita akan mencapai visi setiap perawat harus praktek, dan misi mendorong peningkatan kualitas SDM keperawatan, pendidikan dan penelitian keperawatan yang menopang kualitas praktek keperawatan, maka kualitas lulusan (quality graduates) dan kualitas perguruan tinggi (quality school) harus diperbaiki. PPNI akan terus berkoordinasi dengan Pemerintah, Pimpinan Perguruan Tinggi, Asosiasi Institusi Perguruan Tinggi Keperawatan, dan masyarakat dalam mengawal Kualitas PT Keperawatan.
PPNI Jawa Tengah telah mengambil beberapa kebijakan, yaitu pertama, tidak memberikan pertimbangan rekomendasi pendirian program studi baru, kecuali konversi dari vokasional ke ners; kedua,  mendorong seluruh PT Keperawatan memperoleh status terakreditasi dari BAN-PT atau akreditasi lain yang diakui oleh pemerintah; ketiga, mendukung upaya percepatan pendirian program studi magister dan spesialis di beberapa PT yang telah memenuhi persyaratan; keempat, mendukung upaya bila ada kemungkinan perubahan status Politeknik ke Institut Kesehatan; kelima, mendorong seluruh SDM dosen keperawatan berkualifikasi magister pada tahun 2012 dan sebagian besar doktoral pada tahun 2015.
Mbak Yuli, Sekjen PPNI Jawa Tengah, “geleng-geleng kepala dan tersenyum geli” dan mengatakan : “apa mimpinya tidak ketinggian?”. Hidup bergairah bila diawali dengan mimpi yang realistik. Lihatlah..! Kita memiliki UNDIP dengan dosen-dosen muda yang menggairahkan, Poltekkes Semarang dan Surakarta dengan sebagian besar dosen magister luar negeri, Akper Pemprov dengan semangat kemajuan yang luar biasa, dan beberapa PTS Keperawatan yang tidak mau kalah dengan PTN dalam berinovasi. Kita memiliki Pemerintah yang memberikan hibah kepada PT dan beasiswa tak terbatas kepada dosen, baik PTN maupun PTS. Kita memiliki PPNI yang punya semangat dan idealisme tinggi. Mengapa peluang dan kelebihan tersebut tidak kita gunakan untuk memperbaiki kualitas kita?
“Ada sesuatu yang salah dalam dunia keperawatan bila pemikiran tersebut tidak terrealisasi...!” kata Pak Mardiatmo, Kepala Dinas Kesehatan kita dalam suatu sambutan, yang selalu terngiang di telinga kita. Paling tidak, itu memberikan semangat untuk cucut tali wondo, maju tak gentar, rawe-rawe rantas malang malang putung. Selama ada semangat dan pengorbanan untuk memperjuangkannya, kita harus yakin semua akan terwujud. Tuhan mencintai umatnya yang senang bersusah payah, bekerja keras dan berjuang untuk kebaikan. Maju bersama sukses bersama. Wassalam.

Ngangsu Kawuruh


To : Pak Suroso, Ketua PPNI Kudus

Mengapa pengembangan Profesi Keperawatan diarahkan pada Pendidikan Ners?
1.       Perawat adalah sebuah profesi (UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, pasal 22 (1); pasal 63 (2,3,4,5,)). Keperawatan sebagai profesi diarahkan pada nilai-nilai dasar suatu profesi yaitu pengembangan kelimuan (body of knowledge), pengembangan pelayanan atau praktik keperawatan, pengembangan penelitian keperawatan, serta pengembangan standar profesi dan kode etik.

2.       Pengembangan keilmuan profesi keperawatan, disesuaikan dengan UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, sebagaimana yang terjadi pada pengembangan Pendidikan Dokter, Dokter Gigi Apoteker, Guru dan profesi lainnya. Profesi keperawatan telah menyusun jenis dan jenjang pendidikan perawat menuju tatanan profesionalisme untuk memperbaiki kualitas pelayanan keperawatan (sebagaimana terlampir).

3.       Pendidikan dasar profesi keperawatan adalah Ners, sebagaimana Pendidikan Kedokteran adalah Dokter, Pendidikan Kedokteran Gigi adalah Dokter Gigi, Pendidikan Kefarmasian adalah Apoteker. Profesi Keperawatan telah menetapkan pada tahun 2015, sebagian besar perawat adalah Ners. Sebagian kecil yang vokasional. Sebagian yang Ners, praktisi klinis diarahkan ke pendidikan Spesialis Keperawatan, sedangkan bagi dosen diarahkan ke Magister dan Doktoral. Penyelenggaraan pendidikan ini telah dimulai di UI, UNPAD, UNAIR. Tahun 2011/2012 akan segera dibuka di UGM, UNDIP, USU, UNHAS dan Perguruan Tinggi lainnya di Indonesia.

4.       Pengembangan Sistim Pendidikan ini juga telah terjadi di negara lain sejak lama seperti Thailand, Filiphina, Malaysia, Singapura, Australia, India dan lainnya. Keterlambatan pengembangan pendidikan keperawatan di Indonesia mengakibatkan daya saing SDM Keperawatan kita rendah sehingga perawat Indonesia belum diakui secara internasional melalui pengakuan International Council of Nurses (ICN). Akibatnya, kualitas pelayanan keperawatan kurang baik.

5.       Diperlukan dukungan para stakeholder, khususnya pemerintah untuk memberi kesempatan kepada para perawat agar melanjutkan pendidikannya dengan tidak mengganggu pekerjaan mereka. Peningkatan mutu SDM Keperawatan melalui peningkatan jenjang pendidikan akan meningkatkan mutu pelayanan keperawatan dan kesehatan serta meningkatkan kualitas kesehatan pasien dan masyarakat.

6.       Bila memungkinkan, berikanlah beasiswa karena seseorang yang melanjutkan pendidikan formal telah mengorbankan waktu, tenaga, pikiran dan dana. Pengembangan pendidikan seseorang bukan hanya bermanfaat untuk dirinya sendiri tetapi juga untuk peningkatan kualitas pelayanan kesehatan institusinya. Perawat memiliki keterbatasan waktu karena tugas mereka yang tidak memungkinkan meninggalkan pasien, keterbatasan dana karena tingkat kesejahteraan mereka,  keterbatasan akses kepada para pengambil kebijakan, khususnya di RS, dan keterbatasan motivasi karena untuk apa mereka kuliah yang tidak banyak implikasinya terhadap kesejahteraan, tidak seperti guru yang kemudian mendapat tunjangan profesi.

From : Edy Wuryanto, Ketua PPNI Jawa Tengah

Daya Saing SDM


Assalamualaikum wr.wb.
Kulo Nuwun.
Maju Bersama Sukses Bersama.  Yen Saguh, Lungguh, Sing Kukuh, Ora Mingkuh.

Ketika menyampaikan visi dan misi saat Musprop PPNI Jawa Tengah di Tegal beberapa waktu lalu, saya sulit menjawab pertanyaan, karib saya, Bu Meidiana, Ketua PSIK UNDIP  : “Sebuatkan dua kata yang menggambarkan permasalahan PPNI Jawa Tengah saat ini dan di masa yang akan datang ?”. Dengan spontan saya menjawab Daya Saing. Agar lebih lengkap, saya menawar 3 kata sehingga menjadi “Daya Saing SDM”.

Kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan pilar penting dalam suatu kemajuan. Jepang, Negara kecil yang sumber daya alamnya terbatas ternyata mampu menguasai ekonomi dan merubah peradaban dunia. Finlandia, Negara yang tidak memiliki peternakan sapi luas, tetapi menguasai produksi susu dunia. Malaysia, Negara sepadan dengan kita dan 25 tahun lalu belajar dari Pak Harto, sekarang menjadi simbol kemajuan Negara Islam di Asia. Filiphina, Negara tetangga yang sama-sama makan nasi, sekarang menguasai ekspor perawat ke negara-negara maju. Kunci semua itu ternyata bukan pada kapital atau sumber daya alam, tetapa daya saing SDM.
Tampaknya tidak salah ketika kita menguraikan Visi “Setiap Perawat Harus Praktek” dimulai dari pembangunan SDM Keperawatan. Karena itu PPNI Jawa Tengah memantapkan Misi yang pertama, yaitu mendorong peningkatan kualitas SDM keperawatan, pendidikan dan penelitian keperawatan yang menopang kualitas praktek keperawatan. Misi ini merupakan pondasi yang harus dibangun  secepat-cepatnya agar perawat lebih kompetitif, memiliki daya saing dan setara dengan profesi dokter, dokter gigi, apoteker dan profesi kesehatan lainnya. Tampaknya hal tersebut bukan lagi wacana tetapi telah menjadi tuntutan dari seluruh profesi. Teman saya, Mbak Lusi, Dosen Poltekes Semarang berkomentar “Masak kalah sama guru TK/SD yang sekarang sedang mengejar sarjana pendidikan”.
Profile perawat kita sebagian besar adalah vokasional. Sebagian lain adalah ners (atau sedang studi lanjut) dan sebagian kecil yang masuk ke magister atau spesialis. Kondisi ini harus dirubah. Bila tidak, daya saing kita menurun. Perawat membutuhkan penguasaan konsep biomedik dasar yang kuat agar mampu mengambil keputusan klinik keperawatan yang tepat, berdiskusi dengan dokter tentang setiap perubahan kondisi klien dan memahami segala keputusan medik bagi pasien. Artinya, perawat tidak sekedar menjalankan order dokter, tetapi harus mengetahui mengapa segala tindakan harus dilakukan kepada pasien.
Oleh karena itu, sudah sepatutnya bila PPNI Jateng mengangkat program kerja peningkatan kualifikasi akademik perawat sebagai prioritas. Bagi yang telah menyelesaikan pendidikan diploma secepatnya ke ners. Sebagian yang ners segera ke spesialis. Dengan begitu indikator kerja sebagian besar perawat ners pada tahun 2015 akan tercapai. Persoalannya adalah bagaimana membangun komitmen dan pengorbanan dari warga perawat agar peduli pada pendidikan berkelanjutan. Sayangnya, akses beasiswa perawat klinik sangat terbatas.
Mas Untung Sujianto, Calon Doktor Keperawatan pertama di Jawa Tengah, Dosen UNDIP dan Ketua Bidang Pendidikan menambahkan “Bagaimana dengan SDM dosen ?”. Jujur saja, gambaran SDM Dosen sangat memprihatinkan. Sebagian besar (sekitar 75%) dosen keperawatan adalah S1, sebagian kecil yang magister, apalagi doktoral. Sebagian besar (80%) belum memiliki Jabatan Fungsional Dosen, apalagi memperoleh sertifikasi dosen. Belum lagi kemampuan klinik mereka belum teruji karena sebagian besar dari dosen tidak melakukan praktek di klinik. Ada dinding tebal di tatanan klinik yang mengakibatkan akses dosen untuk merawat pasien langsung sangat terbatas.
Ke depan, pada tahun 2015, PPNI Jateng telah membuat target sebagian besar dosen harus Magister dan Doktoral. Mengapa ? Puncak karier dosen adalah guru besar (profesor). Bila hal ini direncanakan dengan baik maka 10-15 tahun yang akan datang akan banyak komunitas Guru Besar Keperawatan di Jawa Tengah. Sebuah mimpi yang sangat mungkin karena akses beasiswa Pemerintah yang sangat terbuka bagi dosen PTN maupun PTS.
Satu hari dalam seminggu, dosen juga harus merawat langsung pasien seperti yang dilakukan oleh perawat klinik. Bukan hanya sebagai clinical instructur atau ners educator. Hal ini sangat penting untuk memberikan role model dalam pemberian asuhan keperawatan dan penerapan konsep-konsep baru dalam perkembangan ilmu dan teknologi keperawatan di dunia klinik. Sebaliknya, pengalaman perawat klinik dapat dibawa ke kampus untuk disampaikan kepada mahasiswa. Dengan begitu, terdapat interaksi antara dunia akademik (ideal) dengan tatanan klinik (empiric) dalam membangun perbaikan kualitas perawat.
Saya tidak tahu apakah jawaban saya pada Bu Meidiana benar atau salah. Hanya acungan jempol dan senyum khas Bu Mei tampaknya menyetujui pemikiran ini. Tidak ada cara lain membangun keperawatan di Jawa Tengah tanpa meningkatkan kualifikasi pendidikan perawat menuju tahapan awal perofesionalisme yaitu ners. Dengan begitu kualitas SDM Keperawatan meningkat, daya saing SDM dan kualitas praktek perawat juga meningkat pula. Visi setiap perawat harus praktek akan tercapai.
Akhirnya, mari kita terus memaksa diri untuk meningkatkan pendidikan kita masing-masing. Yang masih DIII ke Ners, terus ke spesialis dan seterusnya. Tuhan akan mengangkat derajat orang yang berilmu karena kualitas keputusannya yang akan berguna bagi orang lain, khususnya keselamatan pasien kita. Matur nuwun. Wassalam.
Oleh : Edy Wuryanto
*Ketua PPNI Jawa Tengah
*Wakil Rektor UNIMUS Semarang

Rabu, 26 Januari 2011








"Setiap Perawat Harus Praktek"
Edy Wuryato
( Ketua PPNI Jawa Tengah)*
Wakil Rektor UNIMUS Semarang*  


Assalamualaikum wr.wb.
Kulo Nuwun.
Maju Bersama Sukses Bersama.  Yen Saguh, Lungguh, Sing Kukuh, Ora Mingkuh.

Saya tidak menduga sama sekali ketika  Bu Harsi benar-benar memutuskan mengundurkan diri dari calon Ketua PPNI Jawa Tengah Periode 2010-2015 mengingat kiprahnya yang luar biasa ketika memimpin PPNI selama 5 tahun. Temen,  Tulus, Trengginas, Tangkas Tur Tumakninah. Alhasil, seluruh Pengurus Kabupaten/Kota menerima LPJ-nya dengan summacumlaude. Bahkan, seandainya bersedia dipilih kembali peluangnya untuk terpilih sangat terbuka.

Banyak teman yang lalu meng-sms saya untuk mempersiapkan visi dan misi. Ditengah keraguan, saya mencoba kontemplasi, kira-kira issue apakah yang cocok, sesuai dengan kebutuhan perawat dan keperawatan serta  masyarakat Jawa Tengah di masa mendatang?  Sentilan Bapak Mardiyatmo, Kepala Dinas Kesehatan  saat sambutan pembukaan, dan permasalahan keperawatan yang berkecamuk,  mengarah pada satu kata yaitu “praktek”, dalam bahasa aslinya “practice”. Akhirnya saya memantapkan Visi Setiap Perawat Harus Praktek”.

Kualitas praktek (quality practice) kita banyak mendapat keluhan, terutama dari pasien dan stakeholder. Keluhan tentang perawat yang tidak ramah, sering mengabaikan pasien hingga keluhan yang paling dasar yaitu pelanggaran etik dan profesional merupakan kritik tajam yang menghantui perawat.  Padahal, disisi lain perawat kurang memperoleh perhatian yang serius dalam membangun lingkungan praktek yang positif (positive practice environment).  So, kualitas praktek perawat merupakan issue strategis yang harus terus dikampanyekan sehingga memperoleh perhatian yang luas, khususnya masyarakat perawat sendiri dan pihak lain sehingga di masa mendatang ada perbaikan terhadap prakteknya perawat. Agar definisi praktek benar maka dipertajam dengan tiga kata kunci yaitu praktek yang profesional, mandiri dan aman.

Profesional, berarti pelayanan berbasis kompetensi yang mencakup sikap, tingkah laku profesi, etika profesi, pengetahuan ilmiah dan teknologi professional, serta keterampilan professional yang dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat; Mandiri, yaitu pelayanan yang dilaksanakan oleh perawat secara independen baik perorangan  maupun berkelompok; dan Aman, agar sesuai dengan peraturan dan perundangan yang berlaku dengan tetap mengutamakan kepentingan masyarakat secara lebih luas. Dengan demikian tiga kata kunci tersebut membingkai setiap perawat yang melakukan praktek.
Kata harus bukan otoriter, tetapi lebih menunjukkan keinginan kuat bahwa setiap perawat dan calon perawat (mahasiswa) ada jaminan bisa praktek. Tempat praktek yang telah berjalan dengan baik adalah di Rumah Sakit, Puskesmas dan Pelayanan Kesehatan lain. Sedangkan yang belum berkembang dengan baik adalah praktek di keluarga dan komunitas. Sementara yang sama sekali tidak berkembang adalah di Klinik Keperawatan dan Home Care.

Perawat yang telah menjadi kepala bidang, kepala ruang atau pejabat lain harus tetap merawat pasien langsung. Perawat yang menjadi dosen harus tetap praktek. Praktek yang dimaksud adalah merawat pasien secara langsung, meskipun mungkin hanya satu hari dalam seminggu. Bukan hanya sekedar sebagai pembimbing atau instruktur  klinik. Mahasiswa ketika lulus menjadi perawat harus ada jaminan mereka dapat praktek di seluruh tatanan pelayanan kesehatan. Tidak bekerja sebagai tukang jual beli mobil, karyawan supermarket atau profesi lainnya.

“We la dalah, ini visi rumit Kang Mas” kata Mas Jayadi, teman saya mengomentari visi ini saat penyusunan roadmap di Bandungan. Bahkan, Pak Mardiyatmo, Kadinkes Jateng menyindir dengan mlipir “biasanya kalo perawat sudah  menjadi kepala biasanya terus tidak mau menyentuh pasien. Lebih nukik lagi beliau mengatakan, “menjadi perawat hanya sebagai batu loncatan”. Bila dirasakan kritik tersebut ada benarnya, mengingat faktanya begitu.

Pertama, Di Jawa Tengah ada sekitar 65 PT Keperawatan, bila masing-masing meluluskan 60-70 mahasiswa maka ada sekitar 4000 perawat baru. Jumlah yang sangat banyak bila dibandingkan dengan daya serap pemerintah atau sektor swasta regional. Akan bekerja kemana mereka?. Kedua, dari 65 PT tersebut bila masing-masing memiliki dosen 10 orang maka ada 650 dosen. Dari jumlah tersebut berapa banyak mereka yang mau merawat pasien secara langsung di tatanan klinik (bukan sebagai CI) ?. Lalu, bagaimana kualitas lulusan perawat bila di kampus diajarkan para dosen yang minim pengalaman klinik? Apakah ini berdampak pada kualitas praktek? Jawabannya pasti, Yes..!.  Ketiga, di tatanan klinik, apakah para kepala atau ners educator atau pembimbing klinik tetap memberikan asuhan keperawatan? dan yang tidak menjadi ners educator atau CI, apakah mereka tetap memberikan mentoring pada calon perawat?

“This is a big problem”, kata Mas Arwani. Masalah kualitas praktek di pelayanan ternyata berhubungan dengan kualitas lulusan, kualitas SDM dan kualitas pendidikan.  Artinya, bila ingin mencapai visi kualitas praktek, maka PPNI harus memperbaiki segala hal yang berhubungan langsung dengan tatanan praktek, khususnya lingkungan praktek yang positif, memperbaiki tatanan pendidikan keperawatan dan SDM dosen yang menjamin lulusannya memiliki keunggulan, serta membangun pendidikan dan pelayanan menjadi satu kesatuan sehingga pengalaman praktisi dapat dimanfaatkan oleh pendidikan. Sebaliknya hasil-hasil penelitian keperawatan di PT dapat diterapkan oleh praktisi. Dosen dengan mudah masuk ke RS untuk praktek, sebaliknya praktisi dapat menjadi dosen di PT.

Akhir kata mari kita renungkan puisi berikut : jika para guru memperoleh tunjangan profesi/ jika pak polisi dan tentara mendapat kenaikan remunerasi/ jika para dokter menikmati jasa profesi/ jasa apakah yang diperoleh dari profesiku ini?/ bagaimanakah dengan organisasiku PPNI?

Mari kita urai satu persatu benang ruwet dengan keikhlasan, kesabaran, keuletan, ketelatenan, keteguhan dan konsistensi warga perawat dan pengurus PPNI di Jawa Tengah. Terus gelorakan semboyan Maju Bersama dan Sukses Bersama. Bagi yang diamanahi menjadi pengurus PPNI, tancapkan nilai-nilai, Yen Saguh, Lungguh, Sing Kukuh, Ora Mingkuh. Insaallah, visi Setiap Perawat Harus Praktek akan tercapai dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Cekap semanten, matur nuwun. Wass.wr.wb.

Sambutan Ketua PPNI Jawa Tengah

Selamat datang di website PPNI Jawa Tengah. Website ini berisi perkembangan ilmu dan teknologi keperawatan, praktek perawat, organisasi PPNI,  media informasi dan perekat warga perawat, khususnya Jawa Tengah.
Keberadaan website merupakan salah satu penjabaran Misi PPNI Jawa Tengah yaitu mengembangkan organisasi PPNI yang efektif sesuai tuntutan zaman serta meningkatkan manajemen organisasi PPNI yang transparan, egaliter, kolegial dan bermartabat.
Komitmen kami  adalah memberikan yang terbaik, dalam hal kualitas praktek (quality practice) melalui kualitas perawat atau lulusan (quality graduate), kualitas pendidikan (quality school) dan kualitas sistem (quality system). Akhirnya,  masyarakat akan memperoleh status kesehatan terbaik.
Mari kita pertunjukkan panggung nan penuh tarian gemulai, indahnya alunan musik, ekspresi semangat, melalui website ini. Selamat menikmati sajian kami...!

Ketua PPNI Jawa Tengah : Edy Wuryanto, M.kep

Rabu, 19 Januari 2011

Tarik Ulur RUU Keperawatan


Rencana DPR dan pemerintah mengeluarkan RUU Keperawatan dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2011 mengagetkan seluruh warga perawat sehingga memicu berbagai aksi keprihatinan perawat, termasuk aksi di Gedung DPR RI saat Sidang Paripurna 14 Desember 2010 yang lalu. Padahal sebelumnya, RUU tersebut telah masuk Prolegnas 2010 yang belum sempat dibahas karena masa jabatan DPR 2005-2010 berakhir. Akibatnya, semua perjuangan perawat selama ini, termasuk aksi besar-besaran 12 Mei 2008 menjadi sia-sia.

Ada beberapa alasan mengapa perawat dan organisasi PPNI membutuhkan UU Keperawatan. Pertama, alasan mendasar bahwa hubungan perawat pasien adalah hubungan profesional.  Masyarakat memberikan kepercayaan (lisensi) langsung tentang kesehatannya kepada perawat, sehingga perawat harus memberikan pelayanan dengan standar tinggi dan tanggung jawab moral yang baik. Masyarakat butuh jaminan pelayanan keperawatan yang baik dan  perlindungan hukum bila perawat bekerja tidak sesuai prosedur, etika, lingkup praktek dan  standar profesi. Sebaliknya, perawat juga membutuhkan kejelasan  kompetensi, kewenangan profesi dan perlindungan hukum dari resiko pekerjaan yang mereka alami.
Kedua, untuk mengatur hubungan profesional perawat-pasien dibutuhkan  Konsil Keperawatan yang berwenang menetapkan apakah seorang perawat boleh atau tidak melakukan praktek di pelayanan kesehatan. Bahkan, Konsil Keperawatan berwenang mencabut ijin perawat bila melakukan praktek dibawah standar kompetensi. Regulasi ini berlaku secara global melalui International Council of Nurses (ICN) bahwa seluruh negara harus memiliki Konsil Keperawatan untuk mengatur seluruh praktek keperawatan di wilayah negaranya. Di ASEAN, hanya Indonesia yang belum memiliki Konsil Keperawatan sehingga keberadaan perawat Indonesia belum diakui secara internasional meskipun kemampuan perawat kita lebih baik dari perawat Filiphina, Malaysia atau Thailand. Akibatnya daya saing dan pengakuan perawat kita rendah, gaji yang diterima hanya separo dari mereka meskipun tingkat pendidikannya sama. Tetapi karena Konsil Keperawatan merupakan Badan Independen  dan bertanggungjawab langsung kepada Presiden maka pembentukannya harus melalui UU. Tidak bisa membentuk konsil melalui Peraturan Menteri.
Ketiga, kualitas pelayanan (praktek) keperawatan yang baik sangat tergantung pada kualitas pendidikan dan lulusannya. Saat ini terdapat lebih dari 1.012 program studi keperawatan, terdiri  700 Diploma III, 306 Ners, 5 Magister dan Spesialis serta 1 Program Doktoral. Jumlah lulusan sekitar 40.000 setiap tahun.  Banyaknya jumlah lulusan bila tidak diikuti perbaikan kualitas pendidikannya akan  sangat membahayakan mutu praktek keperawatan. UU Keperawatan menuntut profesi keperawatan harus mengatur standar pendidikan perawat melalui peran masing-masing kolegium di setiap tingkat pendidikan perawat, sehingga mutu masing-masing pendidikan keperawatan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan.
Keempat, kejelasan regulasi praktek perawat melalui proses sertifikasi, registrasi dan pemberian lisensi. Seorang perawat yang baru saja lulus dari Perguruan Tinggi dan perawat asing tidak otomatis dapat bekerja. Tetapi mereka harus melakukan uji kompetensi, sertifikasi dan registrasi melalui Konsil Keperawatan, apakah kompeten dan aman memberikan pelayanan keperawatan atau tidak, sebelum mereka mengurus perijinan dari di Pemerintah. Sistem regulasi ini dimaksudkan agar masyarakat memperoleh pelayanan  dari perawat yang kompeten dan bertanggung jawab, terpenuhinya standar praktek keperawatan.
Tampaknya semangat RUU Keperawatan tersebut belum sejalan dengan kebijakan Pemerintah karena awal 2010, Pemerintah mengeluarkan Permenkes RI No : HK.02.02/Menkes/148/I/2010 tentang Izin dan Registrasi Praktik Perawat. Permenkes ini telah mengatur perijinan praktek perawat, penyelenggaraan praktek perawat, pembinaan dan pengawasan. Bahkan, permenkes ini memberi peluang yang lebih luas bagi perawat memperoleh Surat Ijin Praktek Perorangan (SIPP), melakukan praktek mandiri dan memberikan obat bebas dan/atau obat bebas terbatas. Tetapi Permenkes ini belum memenuhi kebutuhan regulasi praktek keperawatan yang melindungi masyarakat, mengantisipasi kebutuhan global, bahkan cenderung mengganggu hubungan interdisiplin profesi kesehatan.
Demikian juga Permenkes RI No : 161/Menkes/Per/I/2010 tentang Registrasi Tenaga Kesehatan. Permenkes ini mengatur pelaksanaan registrasi,  uji kompetensi, registrasi, pembentukan Majelis Tenaga Kesehatan Indonesia (MTKI) dan Majelis Tenaga Kesehatan Propinsi (MTKP) serta pembinaan dan pengawasan praktek tenaga kesehatan. Melalui MTKI dan MTKP, Pemerintah mengendalikan regulasi praktek seluruh profesi kesehatan, kecuali kedokteran, karena Ketua MTKI dan Divisi di MTKI harus dijabat oleh salah satu perwakilan dari Kementerian Kesehatan. Kebijakan ini merupakan terobosan yang baik dalam regulasi praktek, tetapi di dunia keperawatan seperti yang terjadi di negara lain seluruh proses tersebut dilakukan oleh Konsil Keperawatan.
Lebih sulit lagi, pada tahun ini pemerintah dan DPR lebih mendorong RUU Tenaga Kesehatan dan mengabaikan RUU Keperawatan yang lebih dahulu masuk dalam Prolegnas. Meskipun melalui Sidang Paripurna DPR, 14 Desember 2010 telah mengesahkan RUU Tenaga Kesehatan dan RUU Keperawatan pada urutan ke 18 dan 19, tetapi tampak ada upaya-upaya mengeluarkan RUU Keperawatan dari Prolegnas 2011. Logika sederhananya adalah substansi RUU Keperawatan telah masuk di RUU Tenaga Kesehatan. Padahal keberadaan Konsil Keperawatan di RUU Keperawatan tidak ada dalam RUU Tenaga Kesehatan. Oleh karena itu, dibutuhkan kebijaksanaan para elite, pemerintah, DPR, PPNI Pusat, keterlibatan organisasi profesi lain, khususnya IDI, IBI untuk mendukung bahwa kedua RUU tersebut dapat maju bersama-sama, saling sinergi dan menjadi produk hukum yang akan memperbaiki kualitas pelayanan kesehatan di Indonesia. Tidak etis bila perawat harus meninggalkan pasiennya untuk aksi, apalagi mogok nasional.
Oleh : Edy Wuryanto, M.Kep 
·         Ketua Umum PPNI Jawa Tengah
·         Wakil Rektor Universitas Muhammadiyah Semarang