Senin, 07 Februari 2011

Daya Saing SDM


Assalamualaikum wr.wb.
Kulo Nuwun.
Maju Bersama Sukses Bersama.  Yen Saguh, Lungguh, Sing Kukuh, Ora Mingkuh.

Ketika menyampaikan visi dan misi saat Musprop PPNI Jawa Tengah di Tegal beberapa waktu lalu, saya sulit menjawab pertanyaan, karib saya, Bu Meidiana, Ketua PSIK UNDIP  : “Sebuatkan dua kata yang menggambarkan permasalahan PPNI Jawa Tengah saat ini dan di masa yang akan datang ?”. Dengan spontan saya menjawab Daya Saing. Agar lebih lengkap, saya menawar 3 kata sehingga menjadi “Daya Saing SDM”.

Kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan pilar penting dalam suatu kemajuan. Jepang, Negara kecil yang sumber daya alamnya terbatas ternyata mampu menguasai ekonomi dan merubah peradaban dunia. Finlandia, Negara yang tidak memiliki peternakan sapi luas, tetapi menguasai produksi susu dunia. Malaysia, Negara sepadan dengan kita dan 25 tahun lalu belajar dari Pak Harto, sekarang menjadi simbol kemajuan Negara Islam di Asia. Filiphina, Negara tetangga yang sama-sama makan nasi, sekarang menguasai ekspor perawat ke negara-negara maju. Kunci semua itu ternyata bukan pada kapital atau sumber daya alam, tetapa daya saing SDM.
Tampaknya tidak salah ketika kita menguraikan Visi “Setiap Perawat Harus Praktek” dimulai dari pembangunan SDM Keperawatan. Karena itu PPNI Jawa Tengah memantapkan Misi yang pertama, yaitu mendorong peningkatan kualitas SDM keperawatan, pendidikan dan penelitian keperawatan yang menopang kualitas praktek keperawatan. Misi ini merupakan pondasi yang harus dibangun  secepat-cepatnya agar perawat lebih kompetitif, memiliki daya saing dan setara dengan profesi dokter, dokter gigi, apoteker dan profesi kesehatan lainnya. Tampaknya hal tersebut bukan lagi wacana tetapi telah menjadi tuntutan dari seluruh profesi. Teman saya, Mbak Lusi, Dosen Poltekes Semarang berkomentar “Masak kalah sama guru TK/SD yang sekarang sedang mengejar sarjana pendidikan”.
Profile perawat kita sebagian besar adalah vokasional. Sebagian lain adalah ners (atau sedang studi lanjut) dan sebagian kecil yang masuk ke magister atau spesialis. Kondisi ini harus dirubah. Bila tidak, daya saing kita menurun. Perawat membutuhkan penguasaan konsep biomedik dasar yang kuat agar mampu mengambil keputusan klinik keperawatan yang tepat, berdiskusi dengan dokter tentang setiap perubahan kondisi klien dan memahami segala keputusan medik bagi pasien. Artinya, perawat tidak sekedar menjalankan order dokter, tetapi harus mengetahui mengapa segala tindakan harus dilakukan kepada pasien.
Oleh karena itu, sudah sepatutnya bila PPNI Jateng mengangkat program kerja peningkatan kualifikasi akademik perawat sebagai prioritas. Bagi yang telah menyelesaikan pendidikan diploma secepatnya ke ners. Sebagian yang ners segera ke spesialis. Dengan begitu indikator kerja sebagian besar perawat ners pada tahun 2015 akan tercapai. Persoalannya adalah bagaimana membangun komitmen dan pengorbanan dari warga perawat agar peduli pada pendidikan berkelanjutan. Sayangnya, akses beasiswa perawat klinik sangat terbatas.
Mas Untung Sujianto, Calon Doktor Keperawatan pertama di Jawa Tengah, Dosen UNDIP dan Ketua Bidang Pendidikan menambahkan “Bagaimana dengan SDM dosen ?”. Jujur saja, gambaran SDM Dosen sangat memprihatinkan. Sebagian besar (sekitar 75%) dosen keperawatan adalah S1, sebagian kecil yang magister, apalagi doktoral. Sebagian besar (80%) belum memiliki Jabatan Fungsional Dosen, apalagi memperoleh sertifikasi dosen. Belum lagi kemampuan klinik mereka belum teruji karena sebagian besar dari dosen tidak melakukan praktek di klinik. Ada dinding tebal di tatanan klinik yang mengakibatkan akses dosen untuk merawat pasien langsung sangat terbatas.
Ke depan, pada tahun 2015, PPNI Jateng telah membuat target sebagian besar dosen harus Magister dan Doktoral. Mengapa ? Puncak karier dosen adalah guru besar (profesor). Bila hal ini direncanakan dengan baik maka 10-15 tahun yang akan datang akan banyak komunitas Guru Besar Keperawatan di Jawa Tengah. Sebuah mimpi yang sangat mungkin karena akses beasiswa Pemerintah yang sangat terbuka bagi dosen PTN maupun PTS.
Satu hari dalam seminggu, dosen juga harus merawat langsung pasien seperti yang dilakukan oleh perawat klinik. Bukan hanya sebagai clinical instructur atau ners educator. Hal ini sangat penting untuk memberikan role model dalam pemberian asuhan keperawatan dan penerapan konsep-konsep baru dalam perkembangan ilmu dan teknologi keperawatan di dunia klinik. Sebaliknya, pengalaman perawat klinik dapat dibawa ke kampus untuk disampaikan kepada mahasiswa. Dengan begitu, terdapat interaksi antara dunia akademik (ideal) dengan tatanan klinik (empiric) dalam membangun perbaikan kualitas perawat.
Saya tidak tahu apakah jawaban saya pada Bu Meidiana benar atau salah. Hanya acungan jempol dan senyum khas Bu Mei tampaknya menyetujui pemikiran ini. Tidak ada cara lain membangun keperawatan di Jawa Tengah tanpa meningkatkan kualifikasi pendidikan perawat menuju tahapan awal perofesionalisme yaitu ners. Dengan begitu kualitas SDM Keperawatan meningkat, daya saing SDM dan kualitas praktek perawat juga meningkat pula. Visi setiap perawat harus praktek akan tercapai.
Akhirnya, mari kita terus memaksa diri untuk meningkatkan pendidikan kita masing-masing. Yang masih DIII ke Ners, terus ke spesialis dan seterusnya. Tuhan akan mengangkat derajat orang yang berilmu karena kualitas keputusannya yang akan berguna bagi orang lain, khususnya keselamatan pasien kita. Matur nuwun. Wassalam.
Oleh : Edy Wuryanto
*Ketua PPNI Jawa Tengah
*Wakil Rektor UNIMUS Semarang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar