Rabu, 26 Januari 2011








"Setiap Perawat Harus Praktek"
Edy Wuryato
( Ketua PPNI Jawa Tengah)*
Wakil Rektor UNIMUS Semarang*  


Assalamualaikum wr.wb.
Kulo Nuwun.
Maju Bersama Sukses Bersama.  Yen Saguh, Lungguh, Sing Kukuh, Ora Mingkuh.

Saya tidak menduga sama sekali ketika  Bu Harsi benar-benar memutuskan mengundurkan diri dari calon Ketua PPNI Jawa Tengah Periode 2010-2015 mengingat kiprahnya yang luar biasa ketika memimpin PPNI selama 5 tahun. Temen,  Tulus, Trengginas, Tangkas Tur Tumakninah. Alhasil, seluruh Pengurus Kabupaten/Kota menerima LPJ-nya dengan summacumlaude. Bahkan, seandainya bersedia dipilih kembali peluangnya untuk terpilih sangat terbuka.

Banyak teman yang lalu meng-sms saya untuk mempersiapkan visi dan misi. Ditengah keraguan, saya mencoba kontemplasi, kira-kira issue apakah yang cocok, sesuai dengan kebutuhan perawat dan keperawatan serta  masyarakat Jawa Tengah di masa mendatang?  Sentilan Bapak Mardiyatmo, Kepala Dinas Kesehatan  saat sambutan pembukaan, dan permasalahan keperawatan yang berkecamuk,  mengarah pada satu kata yaitu “praktek”, dalam bahasa aslinya “practice”. Akhirnya saya memantapkan Visi Setiap Perawat Harus Praktek”.

Kualitas praktek (quality practice) kita banyak mendapat keluhan, terutama dari pasien dan stakeholder. Keluhan tentang perawat yang tidak ramah, sering mengabaikan pasien hingga keluhan yang paling dasar yaitu pelanggaran etik dan profesional merupakan kritik tajam yang menghantui perawat.  Padahal, disisi lain perawat kurang memperoleh perhatian yang serius dalam membangun lingkungan praktek yang positif (positive practice environment).  So, kualitas praktek perawat merupakan issue strategis yang harus terus dikampanyekan sehingga memperoleh perhatian yang luas, khususnya masyarakat perawat sendiri dan pihak lain sehingga di masa mendatang ada perbaikan terhadap prakteknya perawat. Agar definisi praktek benar maka dipertajam dengan tiga kata kunci yaitu praktek yang profesional, mandiri dan aman.

Profesional, berarti pelayanan berbasis kompetensi yang mencakup sikap, tingkah laku profesi, etika profesi, pengetahuan ilmiah dan teknologi professional, serta keterampilan professional yang dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat; Mandiri, yaitu pelayanan yang dilaksanakan oleh perawat secara independen baik perorangan  maupun berkelompok; dan Aman, agar sesuai dengan peraturan dan perundangan yang berlaku dengan tetap mengutamakan kepentingan masyarakat secara lebih luas. Dengan demikian tiga kata kunci tersebut membingkai setiap perawat yang melakukan praktek.
Kata harus bukan otoriter, tetapi lebih menunjukkan keinginan kuat bahwa setiap perawat dan calon perawat (mahasiswa) ada jaminan bisa praktek. Tempat praktek yang telah berjalan dengan baik adalah di Rumah Sakit, Puskesmas dan Pelayanan Kesehatan lain. Sedangkan yang belum berkembang dengan baik adalah praktek di keluarga dan komunitas. Sementara yang sama sekali tidak berkembang adalah di Klinik Keperawatan dan Home Care.

Perawat yang telah menjadi kepala bidang, kepala ruang atau pejabat lain harus tetap merawat pasien langsung. Perawat yang menjadi dosen harus tetap praktek. Praktek yang dimaksud adalah merawat pasien secara langsung, meskipun mungkin hanya satu hari dalam seminggu. Bukan hanya sekedar sebagai pembimbing atau instruktur  klinik. Mahasiswa ketika lulus menjadi perawat harus ada jaminan mereka dapat praktek di seluruh tatanan pelayanan kesehatan. Tidak bekerja sebagai tukang jual beli mobil, karyawan supermarket atau profesi lainnya.

“We la dalah, ini visi rumit Kang Mas” kata Mas Jayadi, teman saya mengomentari visi ini saat penyusunan roadmap di Bandungan. Bahkan, Pak Mardiyatmo, Kadinkes Jateng menyindir dengan mlipir “biasanya kalo perawat sudah  menjadi kepala biasanya terus tidak mau menyentuh pasien. Lebih nukik lagi beliau mengatakan, “menjadi perawat hanya sebagai batu loncatan”. Bila dirasakan kritik tersebut ada benarnya, mengingat faktanya begitu.

Pertama, Di Jawa Tengah ada sekitar 65 PT Keperawatan, bila masing-masing meluluskan 60-70 mahasiswa maka ada sekitar 4000 perawat baru. Jumlah yang sangat banyak bila dibandingkan dengan daya serap pemerintah atau sektor swasta regional. Akan bekerja kemana mereka?. Kedua, dari 65 PT tersebut bila masing-masing memiliki dosen 10 orang maka ada 650 dosen. Dari jumlah tersebut berapa banyak mereka yang mau merawat pasien secara langsung di tatanan klinik (bukan sebagai CI) ?. Lalu, bagaimana kualitas lulusan perawat bila di kampus diajarkan para dosen yang minim pengalaman klinik? Apakah ini berdampak pada kualitas praktek? Jawabannya pasti, Yes..!.  Ketiga, di tatanan klinik, apakah para kepala atau ners educator atau pembimbing klinik tetap memberikan asuhan keperawatan? dan yang tidak menjadi ners educator atau CI, apakah mereka tetap memberikan mentoring pada calon perawat?

“This is a big problem”, kata Mas Arwani. Masalah kualitas praktek di pelayanan ternyata berhubungan dengan kualitas lulusan, kualitas SDM dan kualitas pendidikan.  Artinya, bila ingin mencapai visi kualitas praktek, maka PPNI harus memperbaiki segala hal yang berhubungan langsung dengan tatanan praktek, khususnya lingkungan praktek yang positif, memperbaiki tatanan pendidikan keperawatan dan SDM dosen yang menjamin lulusannya memiliki keunggulan, serta membangun pendidikan dan pelayanan menjadi satu kesatuan sehingga pengalaman praktisi dapat dimanfaatkan oleh pendidikan. Sebaliknya hasil-hasil penelitian keperawatan di PT dapat diterapkan oleh praktisi. Dosen dengan mudah masuk ke RS untuk praktek, sebaliknya praktisi dapat menjadi dosen di PT.

Akhir kata mari kita renungkan puisi berikut : jika para guru memperoleh tunjangan profesi/ jika pak polisi dan tentara mendapat kenaikan remunerasi/ jika para dokter menikmati jasa profesi/ jasa apakah yang diperoleh dari profesiku ini?/ bagaimanakah dengan organisasiku PPNI?

Mari kita urai satu persatu benang ruwet dengan keikhlasan, kesabaran, keuletan, ketelatenan, keteguhan dan konsistensi warga perawat dan pengurus PPNI di Jawa Tengah. Terus gelorakan semboyan Maju Bersama dan Sukses Bersama. Bagi yang diamanahi menjadi pengurus PPNI, tancapkan nilai-nilai, Yen Saguh, Lungguh, Sing Kukuh, Ora Mingkuh. Insaallah, visi Setiap Perawat Harus Praktek akan tercapai dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Cekap semanten, matur nuwun. Wass.wr.wb.

Sambutan Ketua PPNI Jawa Tengah

Selamat datang di website PPNI Jawa Tengah. Website ini berisi perkembangan ilmu dan teknologi keperawatan, praktek perawat, organisasi PPNI,  media informasi dan perekat warga perawat, khususnya Jawa Tengah.
Keberadaan website merupakan salah satu penjabaran Misi PPNI Jawa Tengah yaitu mengembangkan organisasi PPNI yang efektif sesuai tuntutan zaman serta meningkatkan manajemen organisasi PPNI yang transparan, egaliter, kolegial dan bermartabat.
Komitmen kami  adalah memberikan yang terbaik, dalam hal kualitas praktek (quality practice) melalui kualitas perawat atau lulusan (quality graduate), kualitas pendidikan (quality school) dan kualitas sistem (quality system). Akhirnya,  masyarakat akan memperoleh status kesehatan terbaik.
Mari kita pertunjukkan panggung nan penuh tarian gemulai, indahnya alunan musik, ekspresi semangat, melalui website ini. Selamat menikmati sajian kami...!

Ketua PPNI Jawa Tengah : Edy Wuryanto, M.kep

Rabu, 19 Januari 2011

Tarik Ulur RUU Keperawatan


Rencana DPR dan pemerintah mengeluarkan RUU Keperawatan dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2011 mengagetkan seluruh warga perawat sehingga memicu berbagai aksi keprihatinan perawat, termasuk aksi di Gedung DPR RI saat Sidang Paripurna 14 Desember 2010 yang lalu. Padahal sebelumnya, RUU tersebut telah masuk Prolegnas 2010 yang belum sempat dibahas karena masa jabatan DPR 2005-2010 berakhir. Akibatnya, semua perjuangan perawat selama ini, termasuk aksi besar-besaran 12 Mei 2008 menjadi sia-sia.

Ada beberapa alasan mengapa perawat dan organisasi PPNI membutuhkan UU Keperawatan. Pertama, alasan mendasar bahwa hubungan perawat pasien adalah hubungan profesional.  Masyarakat memberikan kepercayaan (lisensi) langsung tentang kesehatannya kepada perawat, sehingga perawat harus memberikan pelayanan dengan standar tinggi dan tanggung jawab moral yang baik. Masyarakat butuh jaminan pelayanan keperawatan yang baik dan  perlindungan hukum bila perawat bekerja tidak sesuai prosedur, etika, lingkup praktek dan  standar profesi. Sebaliknya, perawat juga membutuhkan kejelasan  kompetensi, kewenangan profesi dan perlindungan hukum dari resiko pekerjaan yang mereka alami.
Kedua, untuk mengatur hubungan profesional perawat-pasien dibutuhkan  Konsil Keperawatan yang berwenang menetapkan apakah seorang perawat boleh atau tidak melakukan praktek di pelayanan kesehatan. Bahkan, Konsil Keperawatan berwenang mencabut ijin perawat bila melakukan praktek dibawah standar kompetensi. Regulasi ini berlaku secara global melalui International Council of Nurses (ICN) bahwa seluruh negara harus memiliki Konsil Keperawatan untuk mengatur seluruh praktek keperawatan di wilayah negaranya. Di ASEAN, hanya Indonesia yang belum memiliki Konsil Keperawatan sehingga keberadaan perawat Indonesia belum diakui secara internasional meskipun kemampuan perawat kita lebih baik dari perawat Filiphina, Malaysia atau Thailand. Akibatnya daya saing dan pengakuan perawat kita rendah, gaji yang diterima hanya separo dari mereka meskipun tingkat pendidikannya sama. Tetapi karena Konsil Keperawatan merupakan Badan Independen  dan bertanggungjawab langsung kepada Presiden maka pembentukannya harus melalui UU. Tidak bisa membentuk konsil melalui Peraturan Menteri.
Ketiga, kualitas pelayanan (praktek) keperawatan yang baik sangat tergantung pada kualitas pendidikan dan lulusannya. Saat ini terdapat lebih dari 1.012 program studi keperawatan, terdiri  700 Diploma III, 306 Ners, 5 Magister dan Spesialis serta 1 Program Doktoral. Jumlah lulusan sekitar 40.000 setiap tahun.  Banyaknya jumlah lulusan bila tidak diikuti perbaikan kualitas pendidikannya akan  sangat membahayakan mutu praktek keperawatan. UU Keperawatan menuntut profesi keperawatan harus mengatur standar pendidikan perawat melalui peran masing-masing kolegium di setiap tingkat pendidikan perawat, sehingga mutu masing-masing pendidikan keperawatan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan.
Keempat, kejelasan regulasi praktek perawat melalui proses sertifikasi, registrasi dan pemberian lisensi. Seorang perawat yang baru saja lulus dari Perguruan Tinggi dan perawat asing tidak otomatis dapat bekerja. Tetapi mereka harus melakukan uji kompetensi, sertifikasi dan registrasi melalui Konsil Keperawatan, apakah kompeten dan aman memberikan pelayanan keperawatan atau tidak, sebelum mereka mengurus perijinan dari di Pemerintah. Sistem regulasi ini dimaksudkan agar masyarakat memperoleh pelayanan  dari perawat yang kompeten dan bertanggung jawab, terpenuhinya standar praktek keperawatan.
Tampaknya semangat RUU Keperawatan tersebut belum sejalan dengan kebijakan Pemerintah karena awal 2010, Pemerintah mengeluarkan Permenkes RI No : HK.02.02/Menkes/148/I/2010 tentang Izin dan Registrasi Praktik Perawat. Permenkes ini telah mengatur perijinan praktek perawat, penyelenggaraan praktek perawat, pembinaan dan pengawasan. Bahkan, permenkes ini memberi peluang yang lebih luas bagi perawat memperoleh Surat Ijin Praktek Perorangan (SIPP), melakukan praktek mandiri dan memberikan obat bebas dan/atau obat bebas terbatas. Tetapi Permenkes ini belum memenuhi kebutuhan regulasi praktek keperawatan yang melindungi masyarakat, mengantisipasi kebutuhan global, bahkan cenderung mengganggu hubungan interdisiplin profesi kesehatan.
Demikian juga Permenkes RI No : 161/Menkes/Per/I/2010 tentang Registrasi Tenaga Kesehatan. Permenkes ini mengatur pelaksanaan registrasi,  uji kompetensi, registrasi, pembentukan Majelis Tenaga Kesehatan Indonesia (MTKI) dan Majelis Tenaga Kesehatan Propinsi (MTKP) serta pembinaan dan pengawasan praktek tenaga kesehatan. Melalui MTKI dan MTKP, Pemerintah mengendalikan regulasi praktek seluruh profesi kesehatan, kecuali kedokteran, karena Ketua MTKI dan Divisi di MTKI harus dijabat oleh salah satu perwakilan dari Kementerian Kesehatan. Kebijakan ini merupakan terobosan yang baik dalam regulasi praktek, tetapi di dunia keperawatan seperti yang terjadi di negara lain seluruh proses tersebut dilakukan oleh Konsil Keperawatan.
Lebih sulit lagi, pada tahun ini pemerintah dan DPR lebih mendorong RUU Tenaga Kesehatan dan mengabaikan RUU Keperawatan yang lebih dahulu masuk dalam Prolegnas. Meskipun melalui Sidang Paripurna DPR, 14 Desember 2010 telah mengesahkan RUU Tenaga Kesehatan dan RUU Keperawatan pada urutan ke 18 dan 19, tetapi tampak ada upaya-upaya mengeluarkan RUU Keperawatan dari Prolegnas 2011. Logika sederhananya adalah substansi RUU Keperawatan telah masuk di RUU Tenaga Kesehatan. Padahal keberadaan Konsil Keperawatan di RUU Keperawatan tidak ada dalam RUU Tenaga Kesehatan. Oleh karena itu, dibutuhkan kebijaksanaan para elite, pemerintah, DPR, PPNI Pusat, keterlibatan organisasi profesi lain, khususnya IDI, IBI untuk mendukung bahwa kedua RUU tersebut dapat maju bersama-sama, saling sinergi dan menjadi produk hukum yang akan memperbaiki kualitas pelayanan kesehatan di Indonesia. Tidak etis bila perawat harus meninggalkan pasiennya untuk aksi, apalagi mogok nasional.
Oleh : Edy Wuryanto, M.Kep 
·         Ketua Umum PPNI Jawa Tengah
·         Wakil Rektor Universitas Muhammadiyah Semarang